Parembugan:Karangglonggong, Klirong, Kebumen

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Sekang Wikipedia, Ensiklopedia Bebas sing nganggo Basa Banyumasan: dhialek Banyumas, Purbalingga, Tegal lan Purwokerto.

Apa siapa asal usul 'Karangglonggong' itu'

Terlalu menggampangkan bila kata 'glonggong' itu dari kata 'gemolong'. Sebab, arti sebenarnya kata glonggong itu adalah batang daun pepaya. Pada padanan lain, 'glonggong' juga dipadankan dengan 'sebuah wadah/benda' yang banyak mengandung air. Contohnya daging sapi glonggong, yakni daging yang di dapat dari sapi yang disuruh minum air banyak-banyak. Mungkin sekali nama Glonggong karena kampung ini dikelilingi sawah (dahulu rawa) dan topografi tanahnya lebih rendah dari yang lain. Akibatnya, air melimpah di kampung ini. Apalagi bila dibandingkan ketersedian air di kampung yang lebih selatan seperti Jeruk Agung atau Bendogarap.

Kalau dirunut, desa Glonggong itu belum terlalu lama. Diperkirakan dibabat atau mulai ditinggali bersamaan atau setelah terjadinya Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berakhir 1830. Harap dipahami nama Glonggong juga merupakan nama permainan anak-anak prajurit Diponegoro. Mereka menjadikan batang daun pepaya (glonggong) ini untuk berlatih perang-perangan. Glonggong yang batangnya ulet dipakai sebagai pengganti pedang.

Jalan utama membelah kampung Glonggong dahulu terletak bukan di sebelah timur, tapi di sebelah barat kampung, persis di sebuah gang yang berada depan masjid sekarang. Dan masjid sekarang baru berdiri 1929, dan ini merupakan hasil pindahan dari masjid yang dahulu di sebelah timur yang letaknya di sebelah utara SD Negeri Karangglonggong. Masjid di sebelah timur terpaksa dipindahkan ke barat terkena proyek pembuatan/pelebaran jalan utama(jalan yang sekarang berada di depan SD Negeri). Diperkirakan jalan ini baru dibuat antara 1900-1920. Pembangunan jalan ini oleh pemerintah Belanda disebabkan karena ingin membuat jalan lurus dari utara (arah) kota ke selatan lurus ke pesisir pantai yang berada di desa Tanggul Angin. Jalan ini juga dibuat karena pemerintan kolonial ingin Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangglonggong berada di pinggir jalan besar. Gereja ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 1880-an.

Soal Kyai Wulung:


Kyai Wulung sebenarnya hanya sebutan. Nama sebenarnya tidak diketahui. Tapi kalau dilihat dari kuburannya dia punya anak dan isteri. Kyai Wulung jelas seorang santri. Ini karena simbol wulung itu identik dengan pakaian khas Sunan Kalijaga. Wulung juga simbol bagi pakaian bala tentara Pangeran Diponegoro. Jadi kemungkinan besar, Kyai wulung adalah salah satu 'komandan perang' Pangeran Diponegoro yang meletakan senjata setelah berakhirnya 'Perang Jawa' tersebut. Apalagi, bila dikaitkan dengan banyaknya makam tentara Diponegoro yang tersebar mulai pesisir Cilacap hingga pesisir Yogjakarta.

Mengapa Kyai Wulung seorang anak pesantren? Jelas sekali, karena dua keturunan anak-anak Kyai Wulung itu anak-anak pesantren juga. Mereka pergi ke berbagai pesantren yang berada di Jawa Timur. Mereka pergi dari Glonggong jalan kaki lewat jalur selatan, belok ke arah Yogyakarta terus ke arah Solo, berjalan melintasi Gunung Lawu. Kebiasaan pergi ke pesantren ke Jawa Timur baru berhenti pada awal 1920-an. Tapi kebiasaan ini belanjut pada generasi berikutnya. Anak keturunan 'Kyai Wulung' ini kemudian pergi ke pesantren yang ada di beberapa daerah seperti di Termas, Banyumas, Pati.

Komposisi penduduk


Sebenarnya asal bila ditilik asal muasal atau akar warga kampung ini berasal dari tidak lebih dari lima keluarga. Tapi memang keturuan Kyai Wulung kemudian menjadi dominan.

Sedangkan agama yang dipeluk kampung ini mayoritas muslim. Beralihnya kepercayaan sebagian penduduk kampung ini merupakan keberhasilan 'dakwah misi' dari pendatang yang berasal dari sebelah timur, bisa dari Ambal atau sekitar sebelah selatan Purworejo (lihat buku sejarah misi dari 'Kyai Sadrach'). Para misionaris ini kemudian mendirikan gereja yang dahulu di bangun di atas tanah yang masih berupa tegalan. Harus diakui nama Karangglonggong melegenda karena adanya 'gereja tua' itu (Gereja ini lebih tua usianya bila dibandingkan dengan gereja Masehi di Kebumen). Terus terang saja, nama kampung ini terkenal, misalnya hingga Yogyakarta, berkat posisi gereja ini. Bahkan, pada zaman perang kemerdekaan patroli tentara Belanda tidak pernah mau masuk ke kampung ini karena di sini banyak penduduknya beragama Kristiani.

Hingga awal 1930-an penduduk kampung ini cukup padat. Bila dilihat dari bekas rumah yang tidak terpakai, maka jumlahnya sepertiga lebih banyak dari sekarang. Tapi mulai tahun 1930-an menyusut drastis, karena adanya migrasi besar-besaran penduduk ke arah barat, yakni berpindah ke sekitar wilayah lembah Sungai Citandui (lihat arsip penduduk tahun 1930-an yang tersimpan di Leiden, Belanda). Daerah lembah Citandui yang saat itu masih lahan kosong, mulai dibuka sebagai pemukiman seiring dengan pembangunan jaringan rel kereta api Jawa (sekitar tahun 1880-an.)

Pendidikan: Hampir semua penduduk bisa baca tulis. Mereka mengenyam pendidikan moderen semenjak zaman kolonial seiring masuknya gagasan 'Politik Etis' (politik balas budi, tahun 1900) pemerintan Kolonial. Banyak orang tua yang pada tahun 1920-an tamat SD. Mereka saat itu bersekolah di ibu kota kecamatan, yakni Klirong. Anak-anak kampung Glonggong ini cukup sukses. Kalau anda ke Yogya banyak sekali anak keturunan dari kampung ini menjadi dokter atau perawat rumah sakit Bethesda. Pesantren yang dipimpin KH Jarir juga cukup dikenal di kalangan jaringan ulama Jawa. (msubarkah@yahoo.com)

Apa siapa asal usul 'Karangglonggong' itu'?[besut sumber]

Apa siapa asal usul 'Karangglonggong' itu'

Terlalu menggampangkan bila kata 'glonggong' itu dari kata 'gemolong'. Sebab, arti sebenarnya kata glonggong itu adalah batang daun pepaya. Pada padanan lain, 'glonggong' juga dipadankan dengan 'sebuah wadah/benda' yang banyak mengandung air. Contohnya daging sapi glonggong, yakni daging yang di dapat dari sapi yang disuruh minum air banyak-banyak. Mungkin sekali nama Glonggong karena kampung ini dikelilingi sawah (dahulu rawa) dan topografi tanahnya lebih rendah dari yang lain. Akibatnya, air melimpah di kampung ini. Apalagi bila dibandingkan ketersedian air di kampung yang lebih selatan seperti Jeruk Agung atau Bendogarap.

Kalau dirunut, desa Glonggong itu belum terlalu lama. Diperkirakan dibabat atau mulai ditinggali bersamaan atau setelah terjadinya Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berakhir 1830. Harap dipahami nama Glonggong juga merupakan nama permainan anak-anak prajurit Diponegoro. Mereka menjadikan batang daun pepaya (glonggong) ini untuk berlatih perang-perangan. Glonggong yang batangnya ulet dipakai sebagai pengganti pedang.

Jalan utama membelah kampung Glonggong dahulu terletak bukan di sebelah timur, tapi di sebelah barat kampung, persis di sebuah gang yang berada depan masjid sekarang. Dan masjid sekarang baru berdiri 1929, dan ini merupakan hasil pindahan dari masjid yang dahulu di sebelah timur yang letaknya di sebelah utara SD Negeri Karangglonggong. Masjid di sebelah timur terpaksa dipindahkan ke barat terkena proyek pembuatan/pelebaran jalan utama(jalan yang sekarang berada di depan SD Negeri). Diperkirakan jalan ini baru dibuat antara 1900-1920. Pembangunan jalan ini oleh pemerintah Belanda disebabkan karena ingin membuat jalan lurus dari utara (arah) kota ke selatan lurus ke pesisir pantai yang berada di desa Tanggul Angin. Jalan ini juga dibuat karena pemerintan kolonial ingin Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangglonggong berada di pinggir jalan besar. Gereja ini diperkirakan berdiri sekitar tahun 1880-an.

Soal Kyai Wulung:



Kyai Wulung sebenarnya hanya sebutan. Nama sebenarnya tidak diketahui. Tapi kalau dilihat dari kuburannya dia punya anak dan isteri. Kyai Wulung jelas seorang santri. Ini karena simbol wulung itu identik dengan pakaian khas Sunan Kalijaga. Wulung juga simbol bagi pakaian bala tentara Pangeran Diponegoro. Jadi kemungkinan besar, Kyai wulung adalah salah satu 'komandan perang' Pangeran Diponegoro yang meletakan senjata setelah berakhirnya 'Perang Jawa' tersebut. Apalagi, bila dikaitkan dengan banyaknya makam tentara Diponegoro yang tersebar mulai pesisir Cilacap hingga pesisir Yogjakarta.

Mengapa Kyai Wulung seorang anak pesantren? Jelas sekali, karena dua keturunan anak-anak Kyai Wulung itu anak-anak pesantren juga. Mereka pergi ke berbagai pesantren yang berada di Jawa Timur. Mereka pergi dari Glonggong jalan kaki lewat jalur selatan, belok ke arah Yogyakarta terus ke arah Solo, berjalan melintasi Gunung Lawu. Kebiasaan pergi ke pesantren ke Jawa Timur baru berhenti pada awal 1920-an. Tapi kebiasaan ini belanjut pada generasi berikutnya. Anak keturunan 'Kyai Wulung' ini kemudian pergi ke pesantren yang ada di beberapa daerah seperti di Termas, Banyumas, Pati.

Komposisi penduduk


Sebenarnya asal bila ditilik asal muasal atau akar warga kampung ini berasal dari tidak lebih dari lima keluarga. Tapi memang keturuan Kyai Wulung kemudian menjadi dominan.

Sedangkan agama yang dipeluk kampung ini mayoritas muslim. Beralihnya kepercayaan sebagian penduduk kampung ini merupakan keberhasilan 'dakwah misi' dari pendatang yang berasal dari sebelah timur, bisa dari Ambal atau sekitar sebelah selatan Purworejo (lihat buku sejarah misi dari 'Kyai Sadrach'). Para misionaris ini kemudian mendirikan gereja yang dahulu di bangun di atas tanah yang masih berupa tegalan. Harus diakui nama Karangglonggong melegenda karena adanya 'gereja tua' itu (Gereja ini lebih tua usianya bila dibandingkan dengan gereja Masehi di Kebumen). Terus terang saja, nama kampung ini terkenal, misalnya hingga Yogyakarta, berkat posisi gereja ini. Bahkan, pada zaman perang kemerdekaan patroli tentara Belanda tidak pernah mau masuk ke kampung ini karena di sini banyak penduduknya beragama Kristiani.

Hingga awal 1930-an penduduk kampung ini cukup padat. Bila dilihat dari bekas rumah yang tidak terpakai, maka jumlahnya sepertiga lebih banyak dari sekarang. Tapi mulai tahun 1930-an menyusut drastis, karena adanya migrasi besar-besaran penduduk ke arah barat, yakni berpindah ke sekitar wilayah lembah Sungai Citandui (lihat arsip penduduk tahun 1930-an yang tersimpan di Leiden, Belanda). Daerah lembah Citandui yang saat itu masih lahan kosong, mulai dibuka sebagai pemukiman seiring dengan pembangunan jaringan rel kereta api Jawa (sekitar tahun 1880-an.)

Pendidikan: Hampir semua penduduk bisa baca tulis. Mereka mengenyam pendidikan moderen semenjak zaman kolonial seiring masuknya gagasan 'Politik Etis' (politik balas budi, tahun 1900) pemerintan Kolonial. Banyak orang tua yang pada tahun 1920-an tamat SD. Mereka saat itu bersekolah di ibu kota kecamatan, yakni Klirong. Anak-anak kampung Glonggong ini cukup sukses. Kalau anda ke Yogya banyak sekali anak keturunan dari kampung ini menjadi dokter atau perawat rumah sakit Bethesda. Pesantren yang dipimpin KH Jarir juga cukup dikenal di kalangan jaringan ulama Jawa. (msubarkah@yahoo.com)