Cowongan

Sekang Wikipedia, Ensiklopedia Bebas sing nganggo Basa Banyumasan: dhialek Banyumas, Purbalingga, Tegal lan Purwokerto.


Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan sing dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas lan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri sing merupakan dewi padi, lambang kemakmuran lan kesejahteraan. Melalui doa-doa sing dilakukan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi sing menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia.

Arti nama[sunting | besut sumber]

Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong” ditambah akhiran “an” sing dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok sing diartikan berlepotan di bagian wajah (M. Koderi & Fadjar P. 1991:47). Perong, cemong, lan therok lebih bersifat pasif (tidak sengaja). Selangkan cowongan lebih bersifat aktif (disengaja). Jadi cowongan dapat diartikan sesuatu sing dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah sing dimaksud adalah wajah irus sing dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka).

Pendukung ritual[sunting | besut sumber]

Salah satu daerah sing hingga saat ini masih melaksanakan ritual cowongan pada setiap kemarau panjang adalah masyarakat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Daerah ini terletak di ujung sebelah timur dari kabupaten Banyumas, kurang lebih 15 km di sebelah timur kota Banyumas, berbatasan dengan kabupaten Banjarnegara lan berbatasan dengan kabupaten Purbalingga. Di sebelah timur terdapat sungai kecil (kali Plana) sing menjadi batas desa tersebut dengan desa Karangsalam, kecamatan Susukan, kabupaten Banjarnegara. Sebelah utara lan barat dilingkari sungai serayu sing mejadi batas kabupaten Banyumas lan kabupaten Banjarnegara. Walaupun letaknya dekat dengan sungai, tetapi pada saat musim kemarau sing panjang, daerah ini sangat kering lan air sangat sulit untuk di dapat. Apalagi sebagian besar masyarakat di desa Plana bermata pencaharian sebagai petani. Lahan-lahan sing digarap meliputi lahan basah atau sawah, lahan kering berupa tegalan, serta tanah tadah hujan sehingga saat musim kemarau datang lahan ini sangat kering lan petani tidak dapat menggarap sawah mereka. Masyarakat di desa ini masih percaya, melalui ritual cowongan maka akan segera turun hujan sing sangat berguna agar sumur-sumur lan sumber mata air keluar lagi airnya, sawah lan lalang tidak lagi tandus, lan berbagai tanaman bersemi kembali bagi kelangsungan hidup mereka.

Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir Mangsa Kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga kali, lima kali atau tujuh kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan tiga kali. Jika dilaksanakan tiga kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak lima kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di Desa Plana, Kecamatan Somagede.

Tahap-tahap Penyelenggaraan[sunting | besut sumber]

Tahap Persiapan[sunting | besut sumber]

a. Mencuri Irus atau Siwur Tahap persiapan dilakukan dengan mencuri irus atau siwur sing akan dijadikan sebagai properti ritual cowongan. Irus tersebut dicuri dari sebuah rumah sing memiliki pintu di bawah pompok (bubungan). Rumah seperti ini menurut kepercayaan masyarakat Banyumas paling mudah dilalui oleh roh halus, termasuk bidadari sing diharapkan datang untuk menurunkan hujan bagi seluruh umat manusia.

b. Irus atau Siwur Bertapa Irus atau siwur sing telah berhasil dicuri, kemudian ditanjapkan di sebuah batang pohon Pisang Raja. Masyarakat di Desa Plana menybutnya siwur atau irus ini dibiarkanb bertapa. Masa bertapa bagi irus atau siwur bisanya selama tujuh hari tujuh malam, dimulai sejak malam Selasa Kliwon hingga malam Selasa Pahing. c. Rialat Para calon peraga cowongan diharuskan melakukan rialat atau nglakoni, yaitu perilaku mengurangi makan lan tidur. Rialat bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: tirakat, ngasrep, ngebleng, ngrowot (tidak makan wohing dami atau padi), puasa, pati geni (tidak makan makanan sing di masak pakai api lan berada dalam ruang tertutup tanpa penerangan api), lan lain-lain. Rialat dilakukan selama tiga hari pada hari-hari sing memiliki jem 40, yaitu hari Rabu Pon hingga Jumat Kliwon. Dalam perhitungan Jawa, hari Rabu memiliki jem tujuh(7), Pon (7), Kamis (8), Wage (4), Jumat (6), lan Kliwon (8). Keseluruhan jem ketiga hari itu berjumlah 40. menurut kepercayaan mereka, rialat pada hari-hari sing memiliki jumlah jem 40 sama dengan melakukan rialat selama 40 hari.

d. Peraga dalam Keadaan Suci Para peraga cowongan diharuskan dalam keadaan suci. Sing dimaksud dengan “suci” di sini adalah tidak selang haid (menstruasi), nifas atau habis melakukan hubungan seksual. Dengan demikian selama tiga hari hingga pelaksanaan cowongan, para peraga berpantang melakukan atau mengalami hal-hal sing menjadikannya tidak suci.

e. Merias Properti Properti berupa irus atau siwur sebelum dijadikan sebagai properti terlebih dahulu dirias menyerupai seorang perempuan. Pada bagian tempurung, diberi rumbai-rumbai dari ijuk lan janur (daun kelapa sing masih muda) mirip dengan rambut lan aksesories kepala. Bagian sing tidak tertutup ijuk lan janur, diolesi arang lan apu atau enjet (kapur sirih), dibuat menyerupai muka manusia. Pada bagian gagang (tempat pegangan) diberi kain warna-warni sing dipotong-potong, menyerupai baju beraneka warna.

f. Busana Dlam pelaksanaan cowongan, tidak ada ketentuan pakaian bagi para peraga cowongan. Para peraga cowongan memakai pakaiansing biasa dipakai sehari-hari (tidak ada ketentuan tertentu). Biasanya para peraga cowongan juga tidak merias wajahnya, mereka tampil alami sebagaimana biasanya sehari-hari.

Tahap Pelaksanaan[sunting | besut sumber]

a. Peraga Cowongan Peraga cowongan hanya dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria tidak diijinkan melakukan ritual ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sing datang lan merasuk ke dalam properti cowongan adalah bidadari, sehingga kaum laki-laki tidak diijinkan untuk memegang properti itu. Peraga tidak ditentukan jumlahnya. Dalam setiap kesempatan memungkinkan berbeda-beda dalam hal jumlah peraga, sesuai dengan jumlah orang sing siap mengikuti ritual cowongan. Oleh karena itu, pelaksanaan cowongan dapat dilakukan oleh satu orang, dua orang, lima orang atau berapapun jumlah orang (wanita suci) sing hadir. Umur peraga cowongan tidak ditentukan. Berapapun umurnya, baik tua maupun muda, sudah menikah ataupun masih gadis tidak jadi soal sing penting mampu memeragakan cowongan lan dalam keadaan suci. Tetapi biasanya sebagian besar peraga cowongan adalah wanit sing sudah tua atau dewasa.

b. Waktu lan Tempat Cowongan Cowongan biasanya dilaksanakan pada setiap terjadinya musim kemarau. Dalam perhitungan kalender Jawa musim kemarau terjadi mulai mangsa Saddha ( sekitar bulan Mei) sampai dengan mangsa kalima (sekitar bulan Oktober). Biasanya pada mangsa Katelu (Agustus) tanah-tanah pertanian sudah mulai mengering lan mulai terjadi kekurangan persediaan air tanah. Puncak kekeringan biasanya dimulai pada mangsa kapat (September) sampai dengan mangsa kalima (Oktober). Apabila pada mangsa kalima belum juga turun hujan maka penduduk akan semakin menderita kekurangan air. Ritual cowongan biasanya dilaksanakan pada mangsa Kapat mejelang mangsa Kalima yaitu sekitar bulan September. Dalam pranata mangsa Jawa, mangsa Kapat berumur 24 hari mulai tanggal 19 September lan berakhir pada tanggal 13 Oktober. Cowongan biasanya dilaksanakan pada paertengahan mangsa Kapat atau awal mangsa Kalima. Pelaksanaan cowongan tidak membutuhkan tempat tertentu dengan persyaratan-persyaratan sing terlalu sulit. Ritual cowongan biasanya dilaksanakan di halaman rumah penduduk sing luas lan memungkinkan. Pelaksanaan cowongan dilaksanakan pada malam hari. Untuk kali pertama, ritual ini dilaksanakan pada malam Jumat Kliwon. Pelaksanaan selanjutnya dilaksanakan pada setiap malam Jumat (seminggu sekali). Menurut kepercayaan masyarakat di Desa Plana, cowongan dilaksanakan selama tujuh kali. Namun demikian apabila sebelum tujuh kali sudah datang hujan, maka ritual tidak dilanjutkan. Selangkan apabila sudah dilaksanakan selama tujuh kali tidak juga turun hujan, maka dapat dilakukan lagi dengan menggunakan properti sing berbeda lan harus dimulai dari awal lagi sejak tahap persiapan.

c. Sesaji Dalam pelaksanaan ritual cowongan biasanya terdapat berbagai macam sesaji. Beberapa macam sesaji sing biasa dijumpai dalam pelaksanaan ritual ini, antara lain: kemenyan dupa, kembang telon (bunga tiga warna: kenanga, mawar lan kantil) lan jajan pasar. Kemenyan dupa dibakar sebelum pelaksanaan upacara oleh salah seorang peraga cowongan. Biasanya orang sing membakar kemenyan dupa adalah peraga sing paling senior atau paling mengetahui perihal cowongan. Pada saat kemenyan dupa mulai terbakar lan asap mulai mengepul, properti cowongan diletakkan di atas bara dupa agar terkena asap dupa. Sesaji sing lain diletakkan di sekitar arena sebagai kelengkapan pelaksanaan upacara.

d. Pelaksanaan Cowongan Para peraga cowongan secara bersama-sama memegang bagian pegangan properti irus atau siwur dengan tangan kanan. Bersamaan dengan itu, mereka menyanyikan sebuah tembang sing tidak lain adalah doa sing ditujukan kepada Sang Penguasa alam agar hujan segera turun. Tembang tersebut dengan teks sebagai berikut: Sulasih sulanjana kukus menyan ngundhang dewa Ana dewa nlaning sukma widadari tumuruna Runtung-runtung kesanga sing mburi karia lima Leng-leng guleng, gulenge somakaton.

Gelang-gelang nglayoni, nglayoni putria ngungkung Kacang dawa si kanthi di kaya wite Kanthi angle lirang nini gelang gendhongan nini gelang gendhongan

Anjularet pilise kunir apu Manglong-manglong ngenteni paman juragan Gendhong pisan aku paman, emban pisan aku paman

Anjulanthir ngenthir sabuke seblakena tek anggone tenunan tek anggone tenunan

ayam tukung mrekungkung nang wuwungan dede-dede ayam tukung kaki dhuda njaluk ambung kaki dhuda njaluk ambung

ayam walik mrekithik nang wuwungan dede-dede aya walik kaki dhudha pekalongan kaki dhudha pekalongan

cek incek raga bali rog-rog asem kamilaga aja lunga-lunga laki aja ngambung pipi kiwa sing kiwa kagungan dewa sing tengen kagungan dalem

cek incek raga bali rogrog asem kamilega aja lunga-lunga laki ana ganjur loro-loro ganjure si lara sati nurunaken udhan

lutung-lutunga ngilo ngiloa njaluk udhan reg-regan rog-rogan reg-regan rog-rogan

ana kolang kaling mateng di tutur udhan-udhan reg-regan rog-rogan reg-regan rog-rogan

Ana manuk uruk-uruk udhan sebising-bising lanlan kinang Mantu rika agi teka aja suwe-suwe ndalan Sedhek keri dolan Sedhek keri dolan

Sembung-sembung rege mencroka kayu gudhe Ure-ure rambute Ure-ure rambute

Embok nini gandhrung ana yauga sebumbung ndalu Dhing-dhing por anu ngampor anu ngampor suluh dhuwur Babalana tilasana go pranti ngumah petagon

Ler-iler tandhure wis sumilir Tek ijo royo-royo Tek sengguh penganten anyar Tek sengguh penganten anyar

Bocah pangon paculen gumuk kidul Atos-atos dipaculi tandurane kacang ijo Sopito oliho bojo Sopito oliho bojo

Kijing mati ngilari suta ngising Anglilire Sikijing sinawa seba Sikijing sinawa seba

Kembang duren bur kolang-kalingan mega riem-riem Kalingan bathikan lonthang kalingan limaran kembang Kentrng-kentrung sirama sira nglilira Kembang kapas mbok emas ditagih utange beras Ela-ela cendhana mbok ladrang kacir

e. Bidadari pun Bisa Tersinggung Dalam pelaksanaan ritual cowongan, ada kata-kata tertentu sing dapat menyebabkan bidadari sing merasuk ke dalam properti marah. Kata-kata tersebut adalah “Muthu Irus” (untuk properti sing menggunakan irus) atau “Muthu Siwur” (untuk properti sing menggunakan siwur). Menurut penuturan masyarakat Desa Plana, muthu adalah alat untuk mengulek sambal, sing memiliki makna simbolik lingga atau alat kelamin laki-laki. Kata “Muthu Irus” atau “Muthu Siwur” merupakan ungkapan ejekan sing memiliki makna bahwa bidadari sing merasuk ke dalam properti cowongan tidak lagi memiliki maksud suci menurunkan hujan, tetapi terselip maksud lain mencari laki-laki untuk memenuhi hasrat seksualnya. Apabila ada seseorang sing mengejek dengan kata-kata itu, maka biasanya properti cowongan akan mengamuk, mengejar orang sing melakukan ejekan.

3. Tahap Pasca Pelaksanaan Cowongan Setelah pelaksanaan cowongan berakhir, dilakukan dua macam kegiatan, yaitu malaksanakan upacara slametan lan melarung properti. Slametan dilakukan dengan cara melakukan makan bersama nasi tumpeng beserta lauk pauknya serta jajan pasar. Sebelum itu, mereka melakukan doa bersama secara Islam. Kelengkapan lauk-pauk tidak diharuskan macamnya, terlebih lagi cowongan dilaksanakan pada saat kehidupan warga setempat tengah berada dalam penderitaan akibat kekeringan. Seluruh makanan itu diletakkan di atas daun pisang sing dipersiapkan di atas meja atau di atas tikar di lantai. Slametan dilaksanakan pada malam Jumat ketujuh atau malam Jumat sebelum itu tetapi sudah mulai turun hujan. Pada saat pelaksanaan slametan, para peserta peraga cowongan duduk memutar untuk mengepung nasi tumpeng. Oleh karena itu slametan sering disebut dengan istilah kepungan. Makna pelaksanaan slametan adalah agar selepas pelaksanaan cowongan semua peraga lan seluruh warga desa slamet (selamat), jauh dari segala macam kendala dalam kehidupan mereka. Selain itu, mereka juga berdoa agar hujan segera turun untuk memberikan kesejahteraan lan kedamaian dalam kehidupan seluruh warga desa. Pada pagi harinya (hari Jumat sebelum tengah hari), dilakukan acara melarung properti cowongan. Irus atau siwur sing telah dijadikan sebagai media ritual ini, dilarung atau dihanyutkan di sungai Serayu sing letaknya mengitari lebih dari separuh wilayah Desa Plana. Pelarungan irus atau siwur tidak dilakukan dengan acara khusus. Siapapun, salah seorang di antara peraga cowongan diperbolehkan melarung irus atau siwur tersebut. Makna pelarungan cowongan adalah melarung atau menghanyutkan segala sengkala atau pengaruh roh jahat sing memungkinkan merugikan kehidupan warga masyarakat setempat.

Pembahasan[sunting | besut sumber]

Cowongan adalah suatu sarana untuk mengungkapkan keinginin masyarakat akan turunnya hujan. Sebagai komunitas petani tradisonal, masyarakat sing bermukim di desa Plana tentu saja sangat membutuhkan datangnya hujan untuk mengairi sawah sing menjadi sumber penghidupan. Apabila musim kemarau terlalu panjang akibat sing segera dapat dirasakan adalah penderitaan sing diakibatkan oleh kekeringan. Dengan melihat lebih jauh mengenai pelaksanaan cowongan, maka dapat diperoleh gambaran bahwa dalam peaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting yaitu aktivitas seni lan bentuk ritual tradisionalsing menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan alam sing bertujuan untuk mendatangkan hujan. Disebut sebagai aktivitas seni karena didalamnya terdapat syair-syair sing tidak lain adalah doa-doa sing dilakukan dalam bentuk tembang, irus atau siwur sing menjadi properti upacara sing dihias menyerupai seorang putri. Doa-doa tersebut ditujukan kepada sang penguasa alam agar hujan segera turun. Disebut sebagai ritual tradisional karena di dalamnya terdapat sesaji-sesaji, properti-properti, rialat lan doa-doa sing kesemuanya ditujukan sebagai suatu permohonan kepada penguasa seluruh alam agar segera menurunkan hujan. Motivasi mereka untuk melakukan upacara tersebut karena manusia (masyarakat) menghormati alanya makhluk-makhluk halus sing telah membantu, memberi keselamatan lan kepuasan keagamaan.

Didalam pertunjukan cowongan terdapat beberapa aspek-aspek penting, yaitu sebagai nerikut : 1. Pertunjukan cowongan sebagai bentuk permainan rakyat jawa. Menurut Koentjaraningrat sing dikutip oleh Parwatri, permainan adalah kegiatan manusia untuk menyegarkan jiwa serta mengisi waktu (Koentjaraningrat, dkk, 1984:145 dalam Parwatri 1993:12). Permainan cowongan merupakan permainan nyanyian sing menggunakan properti irus (boneka) sebagai nini cowong, sing dalam hal ini dikatagorikan sebagai permainan gaib atau permainan ritualmagis cowongan. Permainan ini bersifat sakral, karena merupakan bentukupacara minta hujan sing disertai dengan pertunjukan atau permainan cowongan. 2. Cowongan merupakan pertunjukan ritual. Ciri ritual pertunjukan cowongan dalam upacara minta hujan tercermin dalam : 1. dilaksanakan pada malam Jumat Kliwon. 2. tempat sing digunakan khusus yaitu teras (bagian rumah paling depan). 3. pelakunya semua wanita sing dalam kadaan suci. 4. ada perlengkapan sesaji. 3. Pertunjukan cowongan sebagai bentuk upacara untuk mendatangkan kekuatan magis, sing tercermin dalam : 1. syair-syair lagu sing dinyanyikan oleh pelaku cowongan merupakan doa (mantra). 2. dukun (sesepuh cowongan) mengucapkan mantra sing disertai dengan tindakan membakar kemenyansing ditujukan kepada leluatan-kekuatn supranatural agar membantu kelancaran pertunjukan tanpa halangan apapun. 4. Pertunjukan cowongan merupakan adat kebiasaan sing dilakukan oleh masyarakat desa Plana pada waktu kemarau panjang. Adat kebiasaan tersebut dilakukan secara turun temurun sing tidak dapat diganti oleh apapun lan selalu dihormati serta ditaati. 5. Pertunjukan cowongan mengandung aspek estetis. Hal ini tercermin dalam syair tembang sing dilagukan lan rias busananya. Kehadiran cowongan tidak tergatung pada penonton seperti sing dikatakan Pariyem “ Ajenga mboten wonten sing nonton, nggih tetep diterasaken. Mangke menawi mandeg sing sami nglampahi kenging bebendu saking sing njampangi (sekalipun tidak ada sing menonton, ya tetap diteruskan. Nanti kalau berhenti para pelakunya terkena hukuman dari sing melindungi).

Kesimpulan[sunting | besut sumber]

Bagi masyarakat desa Plana, cowongan merupakan keharusan untuk senantiasa dilakukan sebagai upacara minta hujan setiap kemarau panjang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat desa Plana sing sebagian besar matapenahariannya bertani atau berocok tanam. Sehingga air merupakan sumber utama bagi mreka sing areal pertaniannya merupakan sawah tadah hujan. Hujan bagi masyarakat desa Plana pada musim kemarau menjadi suatu hal sing sangat berharga. Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan sing dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas lan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri sing merupakan dewi padi, lambang kemakmuran lan kesejahteraan. Melalui doa-doa sing dilakukan dengan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Pada dasarnya, dalam pelaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting yaitu aktivitas seni lan bentuk ritual tradisional sing menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan alam sing bertujuan untuk mendatangkan hujan. Cowongan dilaksanakan dengan menggunakan properti berupa siwur atau irus sing dihias menyerupai seorang putri. Pelaku cowongan terdiri atas wanita sing tengah dalam keadaan suci (tidak selang haid, nifas atau habis melakukan hubungan seksual). Dalam pelaksanaan ritual cowongan, para peraga menyanyikan sebuah tembang sing sesungguhnya merupakan doa-doa. Cowongan hanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu ketika terjadi kemarau panjang. Keberhasilan pertunjukan cowongan yaitu cepat lambatnya hujan turun, dipengaruhi oleh tindakan-tindakan ritual sebelum pelaksanaan cowongan. Pertunjukan cowongan ini terselenggara karena alanya pemahaman masyarakat sing menganggap alam memilikikekuatan sing dapat mempengaruhi kehidupan manusia baik positif maupun negatif. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh kepercayaan animisme lan dinamisme terhadap masyarakat Plana masih kental. Didalam cowongan tercermin 2 aspek penting yaitu aspek ritual magis lan aspek estetik. Aspek ritual magis cowongan tercermin pada kegiatan masyarakat dalam mengatasi masalah kekeringan atau faktor cuaca dengan menggunakan kekuatan magis yaitu mengadakan upacara minta hujan sing disertai pertunjukan cowongan. Aspek estetik cowongan tercermin dalam kehidupan masyarakat desa Plana sing masih sangat tradisi mampu berkarya seni lan mengungkapkan pengalaman jiwa melalui cowongan.

Kepustakaan[sunting | besut sumber]

  • Koderi, M & Fadjar, P. 1991. Kamus Dialeg Banyumas Indonesia. Purwokerto: BKB. Yayasan Damar Agung.
  • Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.
  • Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata lan Budaya. Purwokerto : CV. Metro Jawa.
  • Parwatri Wahjono. 1993. “Hakekat lan Fungsi Permainan Ritual Magis Nini Thowok Bagi Masyarakat Pendukungnya”. Jakarta : Pascasarjana.
  • Yusmanto, dkk. 1996. “Kesenian Cowongan, Bongkel, Buncis di Banyumas”. Banyumas: Depdikbud.