Seni lan Budaya Banyumas

Sekang Wikipedia, Ensiklopedia Bebas sing nganggo Basa Banyumasan: dhialek Banyumas, Purbalingga, Tegal lan Purwokerto.

Prakata[sunting | besut sumber]

Budaya Banyumas utawa budaya Banyumasan ialah bagian budaya Jawa ning akeh unsur-unsur utama nang budaya Banyumasan sing malah ora cocog utawa malah berlawanan karo budaya umum Jawa.

Cablaka utawa Blakasuta[sunting | besut sumber]

Cablaka/Blakasuta ialah salah siji watek wong Banyumas sing ketone ora cocog karo budaya umum Suku Jawa. Watek kiye ngutamaken blak-blakan ning diaturaken nganggo gaya Baworan.

Egaliter[sunting | besut sumber]

Garis legok

Adat/Tradisi[sunting | besut sumber]

Dalam kehidupan masyarakat, masih ada anggapan bahwa alam memiliki kekuatan yang dapat memberikan pengaruh bagi kehidupan mereka baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Oleh karena itu manusia melakukan pendekatan atau berkomunikasi dengan alam dengan melakukan sesaji, sesembahan, ritual-ritual, dan lain-lain dengan harapan alam bermurah hati memberi kesempatan kepada mereka untuk hidup lestari. Dalam rangka pendekatan tersebut manusia seringkali menggunakan media kesenian dalam upacara-upacara untuk mencapai tujuannya. Melalui aktivitas seni inilah masyarakat melakukan ritual-ritual tertentu yang bermakna sebagai bentuk persembahan seluruh jiwa dan raga terhadap Sang Pencipta. Salah satu jenis kesenian yang keberadaannya berkaitan langsung dengan ritual tradisional adalah cowongan. Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan dewi padi, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi yang menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia. Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong” ditambah akhiran “an” yang dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok yang diartikan berlepotan di bagian wajah (Fadjar P. 1991:47). Perong, cemong, dan therok lebih bersifat pasif (tidak sengaja). Sedangkan cowongan lebih bersifat aktif (disengaja). Jadi cowongan dapat diartikan sesuatu yang dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah yang dimaksud adalah wajah irus yang dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka). Salah satu daerah yang hingga saat ini masih melaksanakan ritual cowongan pada setiap kemarau panjang adalah masyarakat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Daerah ini terletak di ujung sebelah timur dari kabupaten Banyumas, kurang lebih 15 km di sebelah timur kota Banyumas, berbatasan dengan kabupaten Banjarnegara dan berbatasan dengan kabupaten Purbalingga. Di sebelah timur terdapat sungai kecil (kali Plana) yang menjadi batas desa tersebut dengan desa Karangsalam, kecamatan Susukan, kabupaten Banjarnegara. Sebelah utara dan barat dilingkari sungai serayu yang mejadi batas kabupaten Banyumas dan kabupaten Banjarnegara. Walaupun letaknya dekat dengan sungai, tetapi pada saat musim kemarau yang panjang, daerah ini sangat kering dan air sangat sulit untuk di dapat. Apalagi sebagian besar masyarakat di desa Plana bermata pencaharian sebagai petani. Lahan-lahan yang digarap meliputi lahan basah atau sawah, lahan kering berupa tegalan, serta tanah tadah hujan sehingga saat musim kemarau datang lahan ini sangat kering dan petani tidak dapat menggarap sawah mereka. Masyarakat di desa ini masih percaya, melalui ritual cowongan maka akan segera turun hujan yang sangat berguna agar sumur-sumur dan sumber mata air keluar lagi airnya, sawah dan ladang tidak lagi tandus, dan berbagai tanaman bersemi kembali bagi kelangsungan hidup mereka. Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir Mangsa Kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga kali, lima kali atau tujuh kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan tiga kali. Jika dilaksanakan tiga kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak lima kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di Desa Plana, Kecamatan Somagede.

Kesenian[sunting | besut sumber]

Liyane[sunting | besut sumber]



mBalik ming:

Kabupaten Banyumas ; Kesenian Banyumasan